Peranakan Museum, Singapura
- museumceria
- Feb 14, 2022
- 5 min read

Happy Lunar New Year!
Dalam rangka tahun baru IMLEK, bulan Februari ini Museum Ceria mau bahas tentang Museum Peranakan di Singapura. Sebagai catatan, tulisan ini disadur dari buku #MuseumTravelogueAsia [Stiletto Indie Book, 2019] yang ditulis oleh Lady Boss Muscer, Ajeng Arainikasih.
Peranakan Museum sendiri berada di Armenian Street, Singapura. Museum 3 lantai ini membahas mengenai kehidupan peranakan, terutama peranakan etnis Cina di Singapura. Kebetulan, penulis pernah 3x mengunjungi museum ini: tahun 2009, 2012, dan 2015. Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman tersebut.
Di lantai pertama Peranakan Museum ada satu ruang pamer yang berisi foto-foto close up berukuran besar. Foto-foto tersebut menampilkan individu dari anak-anak hingga lansia. Di bawah setiap foto tertera nama orang yang difoto, caption singkat mengenai asal usul mereka, serta opini mereka mengenai apa/siapa itu peranakan. Biasanya, ada pula statement yang menyatakan apakah mereka merasa (atau tidak merasa) sebagai bagian dari komunitas peranakan.

Pameran permanen museum kemudian berlanjut di lantai 2 dan 3. Pameran dibagi kedalam beberapa tema seperti pernikahan, religi, dan makanan/festival. Hal pertama yang membuat saya menyukai museum ini adalah desain interior dan warna desain grafisnya. Museum didesain dengan banyak warna yang sesuai dengan warna-warni khas peranakan.
Kedua, walaupun museum menampilkan banyak objek di dalam lemari kaca, museum tetap berusaha membuat pameran tidak pasif, inklusif untuk penderita difabel, dan kids friendly. Salah satu caranya adalah dengan membuat cap emboss dan touching box.

Touching box adalah tempat berbentuk kotak semi terbuka, berisi koleksi museum yang dapat dipegang oleh pengunjung. Touching box ini dilengkapi dengan kids label yang singkat, dan bahkan ada label huruf Braille-nya! Sedangkan “stasiun” cap emboss tentunya juga dilengkapi dengan kids label. Apa sih “stasiun” cap emboss ini?
Jadi, Peranakan Museum akan memberikan selembar kertas berbentuk lingkaran kepada pengunjung anak disaat pengunjung membeli tiket. Kertas ini kemudian dapat di cap dengan cap emboss (cap timbul) yang “stasiunnya” (tempat mengecapnya) tersebar di berbagai ruangan di museum.
Cap emboss ini menggambarkan berbagai motif khas peranakan yang berbeda-beda, misalnya Naga atau Phoenix. Arti singkat dari motif-motif tersebut dijelaskan di “stasiun” cap emboss, serta dituliskan di kertas berbentuk lingkaran yang dipegang oleh pengunjung.
Cap Emboss ini juga diletakkan di tempat yang bervariasi. Terkadang “stasiun” nya berdiri sendiri, terkadang menyatu dengan display museum.


Keberadaan “stasiun” cap emboss ini membuat pengunjung penasaran ingin menemukan semuanya. Bukan hanya pengunjung anak-anak tetapi juga pengunjung dewasa.
Saat pertama kali ke Peranakan Museum di tahun 2009 bersama suami, saya adalah pengunjung dewasa yang penasaran untuk mendapatkan dan menemukan semua motif pada cap emboss yang ada.
Ketika kembali lagi ke Peranakan Museum di tahun 2012, saya berkunjung bersama seorang anak SMP (laki-laki), seorang anak SMA (perempuan), dan seorang mahasiswa S1 (laki-laki). Mereka bertiga semangat berlomba untuk dulu-duluan menemukan “stasiun” cap emboss sambil mengeksplorasi tata pamer museum.
Apakah perilaku mereka menandakan bahwa mereka adalah remaja yang kekanak-kanakan? Tentu tidak!
Tahun 2015 saya kembali lagi ke Peranakan Museum bersama 8 orang mahasiswa S2 saya. Sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak. Kelakuannya? Sama seperti anak SMP/SMA dan mahasiswa S1!
Para “ibu-ibu” dan “bapak-bapak” ini juga saling berlomba-lomba mencari “stasiun” cap emboss yang tersebar di museum!
Walaupun masih harus diteliti lebih mendalam, namun (dari pengalaman saya sendiri) saya berkesimpulan bahwa keberadaan cap emboss di Peranakan Museum ini cukup sukses dalam rangka membuat pengunjung lebih “engage” dengan tata pamer museum.
Setelah mendapatkan cap, (berdasarkan pengalaman saya 3x berkunjung ke museum tersebut) pengunjung lantas membaca arti motif yang didapatkan dan berusaha melihat (atau mencari) motifnya pada koleksi museum yang dipamerkan.
Selain cap emboss, saya juga menyukai beberapa pendekatan Peranakan Museum dalam menata pamerannya. Agak berbeda dengan museum lain yang biasanya sunyi, Peranakan Museum memperdengarkan suara-suara sebagai latar belakang yang sesuai dengan konteks pameran.
Contohnya, pada tema religi dibahas mengenai kematian dan tradisi pemakaman di komunitas peranakan. Di area display pemakaman ini diperdengarkan suara-suara orang yang menangis meratapi sanak keluarganya yang meninggal.
Oh ya, saya juga pernah mengalami kejadian yang cukup lucu terkait backsound suara menangis ini. Saat saya sedang berhenti membaca label mengenai ritual kematian di kebudayaan peranakan, saya melihat salah seorang mahasiswa saya memasuki ruangan dengan agak terburu-buru.
Ia kemudian terlonjak saat melihat saya dan berkata “Ngapain sih lo mbak berdiri sendirian di pojokan? Mana temanya tentang orang meninggal dan ada suara orang nangis lagi! Bikin kaget aja lo!”. Ternyata, mahasiswa saya tersebut takut melewati tema kematian dengan backsound suara orang menagis ini, hehe…

Satu display favorit saya lainnya di Museum Peranakan ini adalah tema mengenai perubahan peran perempuan peranakan di Singapura yang ditampilkan melalui percakapan telepon. Di suatu sisi ruangan museum ditampilkan 3 telepon tua dari tahun 1930-an, 1950-an, dan 1980-an.
Disamping masing-masing telepon dipajang foto dan cerita singkat mengenai konteks foto dan percakapan teleponnya. Sedangkan di depan masing-masing telepon disediakan kursi untuk pengunjung duduk dan mendengarkan percakapan teleponnya. Apa sih isi percakapannya?

Percakapan telepon tahun 1930-an menceritakan mengenai 2 bersaudara laki-laki dan perempuan. Kakak laki-lakinya bersekolah di Eropa sedangkan adik perempuannya harus tinggal untuk mengurus rumah di Singapura karena tidak melanjutkan sekolah ke luar negeri. Percakapan telepon dibuat karena ibu mereka sakit. Sang adik (dengan nada agak kesal) memaksa kakaknya pulang demi kesembuhan ibu mereka.
Intinya, pada tahun 1930-an telepon digunakan untuk mengabarkan berita penting. Pada saat itu, wanita juga memiliki kewajiban mengurus rumah dan tidak lazim untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri.
Percakapan telpon tahun 1950-an menceritakan mengenai 2 sahabat perempuan yang membicarakan mengenai melamar pekerjaan. Mereka membahas bahwa saat itu perempuan sudah cukup lazim untuk bekerja di luar rumah. Kedua sahabat itu pun memutuskan untuk bersama-sama melamar pekerjaan sebagai guru dan perawat.
Sedangkan, percakapan telepon tahun 1980-an memperdengarkan pembicaraan dua perempuan bertetangga yang saling mengosipkan menantu (perempuan) mereka. Menurut sang ibu mertua, menantunya terlalu sibuk bekerja, tidak bisa memasak dan tidak bisa menjahit seperti layaknya perempuan peranakan generasi sebelumnya.
Dari display ini, tidak hanya diketahui perubahan fungsi telepon yang tadinya digunakan untuk mengabarkan berita penting menjadi media yang digunakan untuk bergunjing, namun juga menggambarkan perubahan peran perempuan dari masa ke masa.
Perempuan yang awalnya harus tinggal dan mengurus rumah tanpa mengenyam pendidikan tinggi mulai boleh berkarier di luar rumah. Bahkan tersirat pula perbedaan kesenjangan antar generasi.
Melalui kunjungan ke Peranakan Museum, saya mempelajari bahwa museum akan menarik sekali apabila pamerannya tidak hanya memajang benda koleksi semata, sebagus dan seantik apapun benda koleksinya.
Museum juga harus bisa menceritakan nilai, fenomena, dan isyu-isyu sosial yang terjadi di masyarakat dari objek yang dipamerkan. Tidak hanya melalui tulisan di label, namun bisa menggunakan berbagai pendekatan lain.
Selain itu, museum juga harus bisa mengakomodir kebutuhan berbagai pengunjung berbeda. Adanya kids label dan label berhuruf Braille di Peranakan Museum bisa menjadi contoh bahwa sebenarnya tata pamer museum bisa didesain untuk lebih inklusif bagi pengunjung anak dan pengunjung berkebutuhan khusus.
Ada yang mau museumnya inklusif dan ramah anak seperti Peranakan Museum? Yuk kolaborasi dengan Museum Ceria, we can help you to do so!
Comentarios